Dewan HAM PBB Kecam Kekerasan Militer Myanmar, Begini Tanggapan Junta

Dewan HAM PBB Kecam Kekerasan Militer Myanmar, Begini Tanggapan Junta

Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinan atas penggunaan kekuatan di Myanmar sejak kudeta bulan lalu. Badan PBB itu juga mendorong dibangunnya kantor hak asasi PBB di Myanmar.

Seperti dilansir AFP, Kamis (25/3/2021) sekitar 47 anggota Dewan mengadopsi resolusi yang mengulangi seruan kepada militer Myanmar untuk memulihkan pemerintahan sipil setelah kudeta 1 Februari dan segera membebaskan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Resolusi yang diumumkan pada Rabu (24/3) waktu setempat itu, diadopsi tanpa pemungutan suara, mengkritik “penggunaan kekuatan yang tidak proporsional, termasuk penggunaan kekuatan mematikan secara sembarangan oleh Angkatan Bersenjata dan polisi Myanmar.”

Menanggapi resolusi yang diusulkan oleh Uni Eropa itu, pihak militer Myanmar menyebutnya “dipolitisasi, dilakukan secara sepihak, dengan kurangnya ketidakberpihakan, kemerdekaan dan kredibilitas”.

Kecaman internasional dari Amerika Serikat, Belgia, dan PBB sejauh ini gagal menghentikan pertumpahan darah di Myanmar. Junta militer Myanmar menegaskan bahwa pihaknya tidak punya pilihan selain menindak mereka yang melakukan anarki.

Melalui tautan video, Wakil Menteri Luar Negeri Myanmar Kyaw Myo Htut mengatakan kepada Dewan HAM bahwa elemen-elemen resolusi itu “mengganggu dan tidak benar secara faktual”. Resolusi itu juga disebut sebagai masalah khusus dengan merujuk pada kemungkinan tindakan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang menurutnya dapat dilihat sebagai “ancaman dan tantangan langsung terhadap kedaulatan kami”.

Sementara itu, teks Resolusi juga meminta para jurnalis, pembela HAM, pemimpin agama, staf medis, dan aktivis yang ditahan “atas dasar politik” harus dibebaskan, dan diizinkan untuk kembali bekerja tanpa takut akan pembalasan, intimidasi atau serangan.

Lebih lanjut, resolusi Dewan HAM PBB menyerukan akses “langsung, penuh, tak terbatas dan tak terpantau” bagi pengamat independen, pakar, diplomat, jurnalis, dan kepala hak asasi PBB Michelle Bachelet, dan mendesak Myanmar untuk mendirikan kantor hak HAM PBB di negara itu.

Salah satu ahli yang harus diberikan akses ke Myanmar adalah ahli PBB tentang situasi hak asasi di Myanmar, Thomas Andrews. Pada awal Maret, Andrews mengatakan kepada Dewan HAM bahwa Myanmar saat ini sedang “dikendalikan oleh rezim yang membunuh dan ilegal”.

Dia memperingatkan bahwa junta militer kemungkinan besar melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penculikan, penganiayaan, penyiksaan.”

Resolusi Dewan HAM PBB itu juga membahas keprihatinan jangka panjang atas perlakuan terhadap beberapa etnis dan agama minoritas, seperti etnis Rohingya, di mana lebih dari 740.000 di antaranya telah melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras militer pada tahun 2017, yang menurut para penyelidik PBB dieksekusi dengan “niat genosida”.

Undang-undang yang diberlakukan junta militer Myanmar puluhan tahun lalu membuat warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. Dewan HAM PBB menuntut agar kewarganegaraan penuh mereka dipulihkan segera.