Pertemuan pemimpin-pemimpin negara Asia Tenggara (ASEAN) yang rencananya akan diadakan di Jakarta akhir pekan ini diharapkan dapat membuka jalan untuk penyelesaian krisis di Myanmar.

Asisten Direktur Humas Sekretariat ASEAN, Romeo Abad Arca, mengonfirmasi kepada BBC bahwa pertemuan tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 24 April. “Itu informasi yang kami terima,” katanya tanpa memberikan detil lebih lanjut.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, juga belum bersedia mengungkap rincian tentang pertemuan pemimpin ASEAN. Dia mengatakan mengatakan pihaknya masih menunggu pemberitahuan resmi dari Brunei Darussalam selaku ketua asosiasi.

Bagaimanapun, anggota DPR dan pengamat menilai pertemuan ASEAN ini dapat menjadi kesempatan bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mendesak pemerintahan militer di Myanmar menghentikan kekerasan terhadap warga sipil dan memulihkan proses demokrasi.

 

Dalam pertemuan ASEAN di Jakarta tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand mengatakan Pemimpin Junta Militer Myanmar, Aung Hlaing, akan datangnamun kabar itu belum dikonfirmasi oleh pihak junta.

Kabar kedatangan Aung Hlaing mengundang reaksi keras dari kalangan aktivis prodemokrasi Myanmar.

Alih-alih junta, mereka meminta ASEAN mengundang Pemerintahan Persatuan Nasional (National Unity Government, NUG) yang baru terbentuk dan dianggap mewakili rakyat nasional.

“Kadang-kadang kita harus melihat, kita harus mendengar suara rakyat … dan Pemerintahan Persatuan Nasional adalah suara rakyat. Jadi saya pikir ASEAN harus mempertimbangkan keputusan itu, dan kita masih punya waktu untuk mempertimbangkannya,” kata aktivis Myanmar Khin Sandar dalam acara diskusi virtual Senin kemarin.

Para aktivis prodemokrasi di Asia yang tergabung dalam Aliansi Teh Susu (Milk Tea Alliance) telah menerbitkan surat terbuka kepada negara-negara anggota PBB dan ASEAN, yang antara lain menuntut untuk tidak melibatkan militer Myanmar dalam upaya penyelesaian krisis di negara itu serta mendukung proses dialog antara kelompok masyarakat sipil.

Apa yang diharapkan dari pertemuan ini?

Banyak pihak ragu pertemuan ini akan menghasilkan sesuatu yang signifikan, mengingat ASEAN menganut prinsip non-interferensi. Artinya, setiap negara anggota ASEAN tidak dapat campur tangan dalam urusan dalam negara anggota lainnya.

Ditambah lagi, ASEAN tidak satu pendapat tentang Myanmar. Beberapa negara menganggap kudeta sebagai masalah internal Myanmar.

Namun anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar, Christina Aryani, berpendapat prinsip non-interferensi tidak berarti ASEAN hanya tinggal diam.

Dia berharap pertemuan para pemimpin ASEAN dapat menjadi kesempatan untuk menyamakan persepsi bahwa yang terjadi di Myanmar merupakan tragedi – di samping kemunduran dalam demokrasi – dan membahas apa yang akan dilakukan oleh ASEAN.

“Kami mendorong agar Indonesia selalu menyuarakan agar tercapai suatu keputusan dari forum ini yang bisa menghentikan apa yang saat ini tengah bergejolak atau terjadi di Myanmar,” katanya kepada BBC News Indonesia.

Menurut dia, pemerintahan militer yang merupakan pemerintahan de facto saat ini maupun pemerintahan sipil dapat diajak duduk bersama untuk membicarakan jalan keluar terbaik bagi rakyat Myanmar.

Anggota Komisi I DPR lainnya, Irine Roba, dari PDIP, mengatakan bahwa jika pemimpin junta militer diundang dalam pertemuan ini, maka Pemerintahan Persatuan Nasional (National Unity Government, NUG) yang disebut mewakili rakyat sipil juga harus diundang.

“Jadi intinya, jangan sampai Indonesia maupun ASEAN justru memberikan legitimasi pada junta militer,” ujarnya.

 

Gen Min Aung Hlaing

 

Jenderal Min Aung Hlaing dikabarkan turut diundang pada pertemuan pemimpin ASEAN untuk membahas Myanmar, menuai protes dari aktivis prodemokrasi. (Reuters)

Irine mengatakan, meskipun ASEAN menganut prinsip non-interferensi, tujuan asosiasi negara-negara Asia Tenggara itu seperti tercantum dalam piagam ASEAN adalah menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.

Menurut dia, negara-negara anggota lain bisa saja turun tangan karena apa yang dilakukan militer terhadap warga sipil di Myanmar dapat dianggap sebagai kejahatan berat.

Sejauh ini, tindakan keras militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa yang memprotes kudeta telah menewaskan lebih dari 700 warga sipil.

Pakar hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, berpendapat setidaknya ASEAN dapat bertanya kepada junta militer Myanmar mengapa mereka menolak menghormati hasil pemilu yang memenangkan partai Liga Demokrasi Nasional pimpinan Aung Sang Suu Kyi.

“Melihat berlarut-larutnya proses di ASEAN ini sudah agak panjang, bayangan saya negara-negara anggota itu titik temunya menanyakan dulu tentang bagaimana penghormatan terhadap hasil pemilu – lebih diarahkan ke pemilunya, bukan kekerasannya” jelasnya kepada BBC News Indonesia.

Indonesia bisa jadi penggerak

Menurut Dinna, dunia mengandalkan ASEAN untuk membantu menyelesaikan krisis di Myanmar. Dalam hal ini, Indonesia bisa menjadi motor penggerak ASEAN.

Indonesia memang sejak awal aktif melakukan berbagai diplomasi untuk mencari jalan keluar dari krisis Myanmar, termasuk meminta ketua ASEAN Brunei Darussalam mengadakan pertemuan tingkat tinggi untuk membahas masalah tersebut.

Namun, Dinna mengatakan Indonesia perlu berinvestasi serius dalam proses penyelesaian krisis di Myanmar ketika negara-negara anggota ASEAN lainnya tampak kurang bersemangat menangani masalah ini.

Salah satu hal yang dapat dilakukan Indonesia, menurut Dinna, adalah memastikan suara rakyat sipil Myanmar turut didengar.

“Karena kalau yang diajak bicara hanya junta, bisa muncul persepsi publik bahwa kita berpihak pada junta dan ini akan mempersulit proses damai, karena orang tidak melihat Indonesia imparsial,” ujarnya.