Jakarta – Kalangan pengusaha menyayangkan keputusan Gubernur di sejumlah daerah yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 atau tidak mengikuti kebijakan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menilai kebijakan yang ditetapkan para gubernur yang menaikkan UMP 2021 tidak mendasar. Pasalnya, hampir semua usaha terdampak pandemi COVID-19.
“Apindo mengungkapkan kekecewaan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, DKI dan Sulawesi Selatan serta kepala-kepala daerah lain yang menetapkan tidak sesuai dengan SE Menaker tersebut,” kata Hariyadi dalam konferensi pers di kantornya, Gedung Permata Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (2/11/2020).
Hariyadi menilai kemungkinan adanya sikap politis para gubernur tersebut dalam memutuskan kenaikan UMP 2021 karena mau Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Terlepas dari itu benar atau tidak, lagi-lagi dia menyebut bahwa keputusan mereka kurang tepat.
“Rasanya tidak (terkait) pilkada, tapi mau pilpres 2024. Seingat saya nama-nama ini adalah yang muncul di polling-polling yang akan berkompetisi di 2024, tapi tidak tahu lah saya tidak bisa menjawab itu. Tapi yang jelas ini kurang memperhatikan,” tuturnya.
Lagi pula, kata Hariyadi, UMP ini bukan berarti berlaku untuk upah keseluruhan, melainkan hanya berlaku untuk pekerja baru atau fresh graduate. Pekerja dinilai masih bisa negosiasi gaji sesuai kemampuan perusahaan.
“Kami tidak akan menggugat karena keputusan itu kan memang ada di kepala daerah. Hanya kami menyayangkan karena kenaikan ini tidak melihat kondisi real dan pemahamannya terhadap upah minimum sebagai jaring pengaman sosial itu kelihatannya kurang,” tuturnya.
Senada dengan Hariyadi, Wakil Sekretaris Umum Apindo yang juga Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional, Adi Mahfudz mengatakan saat ini kondisi sedang tidak normal karena ada pandemi COVID-19. Untuk itu, dinilai tidak relevan jika UMP 2021 naik.
“Saat ini kita dalam kondisi tidak normal, yaitu pandemi COVID-19. Aturan PP 78 yang seyogyanya diharapkan dapat diterapkan menjadi tidak dapat diterapkan karena situasi dan kondisi yang ada tidak memungkinkan,” urai Adi.
Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah pusat untuk dapat membina kepala-kepala daerah yang melanggar SE tersebut, sehingga tercipta kepastian hukum dalam penetapan upah minimum.
(zq)