5 Asosiasi Arsitek Kritisi Desain Garuda Istana Negara Ibu Kota Baru

5 Asosiasi Arsitek Kritisi Desain Garuda Istana Negara Ibu Kota Baru

Lima asosiasi arsitek yang terdiri dari Asosiasi Profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) mengkritisi desain burung Garuda Istana Negara di Ibu Kota Baru, Kalimantan Baru. Kabarnya, desain yang teah disetujui adalah desain karya seniman asal Bali, I Nyoman Nuarta berbentuk Burung Garuda.

“Sebagai asosiasi profesi yang memiliki kompetensi pada bidang perancangan arsitektur, perancangan bangunan ramah lingkungan (green building), perancangan kawaan dan kota, perencanaan dan perancangan lanskap, serta perencanaan kota dan wilayah, kami memandang perlu untuk memberikan pendapat profesional terhadap hasil rancangan maupun gambar yang telah dipublikasikan melalui media Instagram Bapak Suharso Monoarfa, Menteri PPN/Kepala Bappenas pada tanggal 18 Maret 2021,” demikian bunyi pernyataan sikap kelima asoiasi tersebut yang diterima detikcom, Kamis (1/4/2021).

Kelima asosiasi itu menilai penting untuk menyampaikan pendapat yang didasarkan pada itikad baik dan juga kepentingan jangka panjang agar upaya pemerintah dalam membangun IKN dapat menjadi teladan dan contoh bagi pembangunan kota-kota baru maupun pembangunan perkotaan di Indonesia secara keseluruhan.

“Kami memandang perlu bahwa dalam setiap proses perencanaan, terutama yang bersifat publik, pelibatan masyarakat menjadi proses bagian yang tak terpisahkan untuk meningkatkan rasa kepemilikan atau ‘sense of ownership’ masyarakat terhadap keberadaan IKN yang baru,” sambungnya.

Mengingat IKN adalah kota dunia untuk semua, kelima asosiasi arsitek itu berharap adanya media untuk dialog atau forum diskusi mengenai perencanaan dan perancangan IKN (baik di level regional, kawasan, bangunan dan ruang binaan), secara terbuka dan transparan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, multi-disiplin terkait dan perwakilan pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pusat dan daerah.

Menurut mereka, prosedur atau tata urutan perencanaan pembangunan IKN sebaiknya mengikuti kaidah-kaidah pembangunan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup mengingat suatu kota tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga fokus membangun kehidupan dimana dimensi fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan hidup harus dirancang secara sistematis dan terpadu.

“Kami mendorong Rancangan Undang-Undang IKN disahkan terlebih dahulu dengan menempatkan rencana induk pembangunan dan tata ruang IKN sebagai dasar pembangunan yang dilaksanakan oleh Badan Otorita IKN dengan otonomi penuh dan diisi oleh para profesional di bidang perencanaan kota, perancangan kawasan dan bangunan, serta pengelolaan properti dan lahan serta profesional lain yang umumnya terlibat dalam proses pembangunan kota baru,” imbuhnya.

Menurut kelima asosiasi tersebut, publikasi yang disampaikan dalam Instagram Suharso Monoarfa telah mengundang ragam reaksi dari para anggota lintas asosiasi profesi.

“Ada kegelisahan yang perlu disampaikan untuk dapat disalurkan secara terbuka terkait dengan rencana dan rancangan Istana Negara yang nantinya akan menjadi representasi dari citra Indonesia dan menjadi dasar atas perkembangan peradaban Indonesia dalam kancah dunia,” katanya.

Untuk itu, kelima asosiasi tadi menilai bangunan istana negara yang berbentuk burung Garuda atau burung yang menyerupai Garuda merupakan simbol yang di dalam bidang arsitektur tidaklah mencirikan kemajuan peradaban bangsa Indonesia di era digital dengan visi yang berkemajuan, era bangunan emisi rendah dan pasca COVID-19 (new normal).

“Bangunan gedung istana negara seharusnya merefleksikan kemajuan peradaban/budaya, ekonomi dan komitmen pada tujuan pembangunan berkelanjutan negara Indonesia dalam partisipasinya di dunia global,” ucapnya.

“Bangunan gedung istana negara seharusnya menjadi contoh bangunan yang secara teknis sudah mencirikan prinsip pembangunan rendah karbon dan cerdas sejak perancangan, konstruksi hingga pemeliharaan gedungnya,” sambungya.

Lebih lanjut, menurut kelima asosiasi arsitektur itu metafora terutama yang dilakukan secara harfiah dan keseluruhan dalam dunia perancangan arsitektur era teknologi 4.0 adalah pendekatan yang mulai ditinggalkan, karena ketidakampuan menjawab tantangan dan kebutuhan arsitektur hari ini dan masa mendatang.

“Metafora hanya mangandalkan citra, yang dilakukan secara keseluruhan dapat diartikan secara negatif dikaitkan dengan anatomi tubuh yang dilekatkan dalam metafor. Metafora harfiah yang direpresentasikan melalui gedung patung burung tersebut tidak mencerminkan upaya pemerintah dalam mengutamakan forest city atau kota yang berwawasan lingkungan,” sambungnya.

Oleh karena itu, kelima asosiasi itu merekomendasikan agar Istana versi burung Garuda disesuaikan menjadi monumen atau tugu saja pada posisi strategis tertentu di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan dilepaskan dari fungsi bangunan istana.

“Mengusulkan desain bangunan gedung istana agar disayembarakan dengan prinsip dan ketentuan desain yang sudah disepakati dalam hal perancangan kawasan maupun penataan tata ruangnya termasuk target menjadi model bangunan sehat beremisi nol,” ucapnya.

Kelimanya berpendapat memulai pembangunan tidak harus melalui bangunan gedung, tetapi dapat melalui TUGU NOL yang dapat ditandai dengan membangun kembali lanskap hutan hujan tropis seperti penanaman kembali pohon endemik Kalimantan yang nantinya menjadi simbol bahwa pembangunan IKN memang merepresentasikan keberpihakan pada lingkungan seperti dalam narasi skema sayembara Nagara Rimba Nusa untuk ‘membangun hutan terlebih dahulu baru membangun kotanya’.

“Kami berharap pernyataan dan rekomendasi ini dapat menjadi bahan pengayaan dan masukan bagi pemerintah dalam menyiapkan pemindahan dan pembangunan IKN ini. Salah dalam merencanakan maka rencana itu akan menghasilkan kegagalan,” tandasnya.